Oleh: E.Akhmad Syaifudin
Sejarah sudah membuktikan bahwa banyak bangsa yang
berperang menderita kekalahan bukan karena lemah dari sisi persenjataan, namun,
justru lemah dalam persediaan pangan.
Berdasarkan keadaan itu, maka dalam doktrin Ketahanan Nasional
Indonesia, Ketahanan Pangan merupakan sub sistem Ketahanan Nasional.
Menurut UU no 7 tahun 1996 tentang Pangan, bahwa
ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang
tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman,
merata, dan terjangkau. Pangan memiliki
dimensi yang luas, mulai dari pangan yang esensial bagi kehidupan manusia yang
sehat dan produktif (keseimbangan kalori, karbohidrat, protein, lemak, vitamin,
serat, dan zat esensial lain); serta pangan yang dikonsumsi atas kepentingan sosial
dan budaya, seperti untuk kesenangan, kebugaran, kecantikan dan sebagainya, dengan demikian, pangan tidak hanya berarti
pangan pokok, dan jelas tidak hanya berarti beras, tetapi pangan yang terkait
dengan berbagai hal lain. Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia
yang merupakan bagian dari hak asasi manusia (HAM), sebagaimana tertuang dalam
Deklarasi HAM Universal (Universal Declaration of Human Right) tahun 1948,
serta UU No 7 Tahun 1996 tentang Pangan (http://rowlandpasaribu.files.wordpress.com/2013/02/13-ketahanan-pangan-nasional.pdf,
diakses 28 Juli 2013)
Sebagai sebuah sistem, maka ketahanan pangan Indonesia
mengenal sub sistem ketersediaan, sub sistem distribusi, dan sub sistem konsumsi. Konseptual, diharapkan bahwa ketahanan pangan
itu dapat terwujud bila sub-sistem sub-sistem ini dapat bekerja dengan
sebaik-baiknya. Dalam hal ketersediaan,
maka prinsip-prinsip produksi tanaman pertanian berkelanjutan harus menjadi
acuan.
Berbicara masalah prinsi-prinsip produksi tanaman
pertanian berkelanjutan, maka terdapat pilihan bagi petani, ingin hasil tinggi
namun tidak stabil dari waktu ke waktu, ataukan ingin hasil tidak terlalu
tinggi namun stabil dari waktu ke waktu.
Dalam kaitan dengan memperoleh kebutuhan sesaat, maka sering pilihan
jatuh pada mengejar hasil tinggi walaupun pada kenyataannya nanti hasil itu
tidak stabil dari waktu ke waktu. Yang
berpengaruh di sini umumnya merupakan pilihan-pilihan teknologi yang
menunjukkan kehebatan dalam mendorong produksi ke tingkat tertentu sehingga
memuaskan petani selaku produsen. Tidak
disadari, pilihan ini “meracuni” pikiran petani, yang terbutakan dengan
produksi tinggi (output, O), padahal modal (input, I) untuk mendapatkan
produksi tinggi itupun juga tinggi.
Alhasil, keuntungan yang diperoleh petani sesuai dengan rumus π = O – I,
tidak menggembirakan.
Perlindungan tanaman, adalah kegiatan di mana tanaman
mendapatkan pengelolaan yang dibutuhkan sebelum, selama, dan sesudah
panen. Pengelolaan dimaksud, merupakan
penerapan teknologi-teknologi yang dipilih untuk proses produksi tanaman, yang
mungkin saja berupa teknologi jaman dahulu (teknologi revolusi hijau), maupun
teknologi baru yang ramah lingkungan.
Penting diingat, bahwa untuk setiap pilihan teknologi ada konsekuensi
ekonominya, dan tentu ini berpulang kembali ke petani sebagai manajer. Pertanyaannya, petani di Indonesia sudahkah
disiapkan sebagai manajer yang mampu menangani setiap permasalahan khas
usahataninya? Jika jawabannya belum, maka tugas kita semua yang memiliki kemampuan akademis Ilmu-ilmu Pertanian untuk menyiapkan itu semua. Dengan dimilikinya kemampuan manajerial oleh petani, maka tercapailah prinsip Pengendalian Jasad Pengganggu Tanaman Terpadu yaitu: petani mampu mengambil keputusan pada usaha taninya (petani ahli).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar