Selasa, 30 Juli 2013

Membentuk Kompetensi Petani



Adalah lumrah jika banyak disebut-sebut kompetensi dokter, insinyur, paramedis, ahli komputer, serta berbagai keahlian lainnya, lalu adakah kompetensi petani?, Ya kompetensi petani sudah disebut-sebut dalam dunia praktis, barangkali untuk memenuhi persyaratan dilaksanakannya sebuah kegiatan dinas atau instansi tertentu, namun, bagaimanakah rumusan sebenarnya kompetensi petani itu, belum jelas. 


Pada dasarnya kompetensi dirumuskan dalam rangka proses pembelajaran. Dalam pembelajaran dikenal Standar Kompetensi yaitu pernyataan tentang pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dikuasai peserta didik serta tingkat penguasaan yang diharapkan dicapai dalam mempelajari suatu mata pelajaran. Menurut pengertian tersebut, Standar Kompetensi mencakup dua hal, yaitu standar isi (content standards), dan standar penampilan (performance standards). Standar Kompetensi yang menyangkut isi berupa pernyataan tentang pengetahuan, sikap dan keterampilan yang harus dikuasai, dan Standar Kompetensi yang menyangkut tingkat penampilan adalah pernyataan tentang kriteria untuk menentukan tingkat penguasaan peserta didik.

Diketahui pula bahwa kompetensi merupakan kebulatan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dapat didemonstrasikan, ditunjukkan, atau ditampilkan oleh seseorang sebagai hasil belajar. Sesuai dengan pengertian tersebut, maka Standar Kompetensi adalah standar kemampuan yang harus dikuasai peserta didik untuk menunjukkan bahwa hasil mempelajari sesuatu perihal tertentu berupa penguasaan atas pengetahuan, sikap, dan keterampilan tertentu telah dicapai.

Pertanyaan yang menggelitik, apa basis kebutuhan dibentuknya kompetensi, dan lembaga apa yang memberikan (baca mengesahkan) kompetensi itu, dan seterusnya yang ujung-ujungnya mengarah kepada suatu proses formal, padahal, yang diinginkan sejatinya bukan semata-mata formalitas, melainkan adanya sebuah kemampuan afektif, maupun psikomotorik, yang tentu sangat diharapkan berlandaskan kemampuan kognitif.

Bahwa petani membutuhkan penyadaran bahwa dirinya adalah seseorang yang berkompeten mengelola lahan, tanaman, hewan ternak, dan lingkungannya, sampai dapat menghasilkan panen adalah benar.  Di berbagai sisi petani memerlukan penguatan, dan dalam hal kemampuan, maka pengakuan akan kompetensinya tentu akan menambah semangat dalam berkarya.  Dulu di Kalimantan Selatan, kita mengenal seorang petani bernama Haji Idak, yang sukses membawa Kalimantan Selatan bertanam padi dua kali setahun.  Dulu juga, ada petani bernama Mujaer, yang mengembangkan ikan yang diakui sangat produktif sehingga namanya diabadikan menjadi nama dagang ikan tersebut.  Sekarang dengan banyaknya komoditas yang dihasilkan, banyak pula petani maju yang mampu menangani keahlian khas komoditas mereka masing-masing. Sebut saja Joharipin, petani dari Indramayu, yang menanami sawahnya dengan benih lokal yang sudah lama ditinggalkan, dan ternyata kearifan lokal itu membawanya ke gerbang sukses.  Di Sleman Yogyakarta, ada petani salak Pondoh, atau di Bali ada petani salak Bali, ada petani anggrek, apel, sawit, kakao, kelapa, dan lain sebagainya

Nah, kembali lagi ke persoalan membentuk kompetensi petani, setelah melihat berbagai kasus di atas, basis kompetensi petani yang paling mungkin adalah basis komoditas.  Dari basis komoditas tersebut, maka pendidikan dan latihan dapat dikembangkan agar petani tersebut mendapat pengakuan "petani kompeten".  Dengan demikian, petani yang kompeten akan memiliki tanggung jawab mengembangkan komoditasnya secara lebih arif terhadap lingkungan produksinya, dan juga profesional agar usaha taninya menjadi untung.

Berkaitan dengan lembaga yang memberikan kompetensi, barangkali sekolah lapang petani perlu diformalkan, supaya mampu mencetak petani yang kompeten itu.  

Jadi, sebetulnya semua bahan untuk ide membentuk kompetensi petani sudah tersedia di sekitar kita, maka mulailah bekerja mewujudkan ide itu. Mana tahu suatu saat, kompetensi petani dibutuhkan di negara-negara lain taruhlah itu untuk pemenuhan kebutuhan Asean Economic Community yang sebentar lagi akan berjalan, tentu itu akan menjadi daya saing tertentu bagi petani Indonesia.  Mudah-mudahan saya tidak sekedar bermimpi.

















Sabtu, 27 Juli 2013

Perlindungan Tanaman dalam Perspektif Ketahanan Pangan

Oleh: E.Akhmad Syaifudin

Sejarah sudah membuktikan bahwa banyak bangsa yang berperang menderita kekalahan bukan karena lemah dari sisi persenjataan, namun, justru lemah dalam persediaan pangan.  Berdasarkan keadaan itu, maka dalam doktrin Ketahanan Nasional Indonesia, Ketahanan Pangan merupakan sub sistem Ketahanan Nasional.

Menurut UU no 7 tahun 1996 tentang Pangan, bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau.  Pangan memiliki dimensi yang luas, mulai dari pangan yang esensial bagi kehidupan manusia yang sehat dan produktif (keseimbangan kalori, karbohidrat, protein, lemak, vitamin, serat, dan zat esensial lain); serta pangan yang dikonsumsi atas kepentingan sosial dan budaya, seperti untuk kesenangan, kebugaran, kecantikan dan sebagainya,  dengan demikian, pangan tidak hanya berarti pangan pokok, dan jelas tidak hanya berarti beras, tetapi pangan yang terkait dengan berbagai hal lain. Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang merupakan bagian dari hak asasi manusia (HAM), sebagaimana tertuang dalam Deklarasi HAM Universal (Universal Declaration of Human Right) tahun 1948, serta UU No 7 Tahun 1996 tentang Pangan (http://rowlandpasaribu.files.wordpress.com/2013/02/13-ketahanan-pangan-nasional.pdf,  diakses 28 Juli 2013)

Sebagai sebuah sistem, maka ketahanan pangan Indonesia mengenal sub sistem ketersediaan, sub sistem distribusi, dan sub sistem konsumsi.  Konseptual, diharapkan bahwa ketahanan pangan itu dapat terwujud bila sub-sistem sub-sistem ini dapat bekerja dengan sebaik-baiknya.  Dalam hal ketersediaan, maka prinsip-prinsip produksi tanaman pertanian berkelanjutan harus menjadi acuan. 

Berbicara masalah prinsi-prinsip produksi tanaman pertanian berkelanjutan, maka terdapat pilihan bagi petani, ingin hasil tinggi namun tidak stabil dari waktu ke waktu, ataukan ingin hasil tidak terlalu tinggi namun stabil dari waktu ke waktu.  Dalam kaitan dengan memperoleh kebutuhan sesaat, maka sering pilihan jatuh pada mengejar hasil tinggi walaupun pada kenyataannya nanti hasil itu tidak stabil dari waktu ke waktu.  Yang berpengaruh di sini umumnya merupakan pilihan-pilihan teknologi yang menunjukkan kehebatan dalam mendorong produksi ke tingkat tertentu sehingga memuaskan petani selaku produsen.  Tidak disadari, pilihan ini “meracuni” pikiran petani, yang terbutakan dengan produksi tinggi (output, O), padahal modal (input, I) untuk mendapatkan produksi tinggi itupun juga tinggi.  Alhasil, keuntungan yang diperoleh petani sesuai dengan rumus π = O – I, tidak menggembirakan.


Perlindungan tanaman, adalah kegiatan di mana tanaman mendapatkan pengelolaan yang dibutuhkan sebelum, selama, dan sesudah panen.  Pengelolaan dimaksud, merupakan penerapan teknologi-teknologi yang dipilih untuk proses produksi tanaman, yang mungkin saja berupa teknologi jaman dahulu (teknologi revolusi hijau), maupun teknologi baru yang ramah lingkungan.  Penting diingat, bahwa untuk setiap pilihan teknologi ada konsekuensi ekonominya, dan tentu ini berpulang kembali ke petani sebagai manajer.  Pertanyaannya, petani di Indonesia sudahkah disiapkan sebagai manajer yang mampu menangani setiap permasalahan khas usahataninya? Jika jawabannya belum, maka tugas kita semua yang memiliki kemampuan akademis Ilmu-ilmu Pertanian untuk menyiapkan itu semua.  Dengan dimilikinya kemampuan manajerial oleh petani, maka tercapailah prinsip Pengendalian Jasad Pengganggu Tanaman Terpadu yaitu: petani mampu mengambil keputusan pada usaha taninya (petani ahli).